skip to main |
skip to sidebar
KISAH MENGHARUKAN, PENANTIAN PANJANG SEORANG IBU
Kisah ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu
seorang gadis kecil. Tidak seorang pun tau, yang tahu nama aslinya, tapi
beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, melainkan dibawa oleh
suaminya dari kampung halamannya.
Seperti kebanyakan kota besar
di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka.
Tidak sampai setahun di kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh
uangnya.
Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal dimana
malam nanti dengan tidak sepeserpun uang di kantong. Padahal mereka
sedang menggendong sorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik
dan putus asa, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya. Tiba
saatnya di sebuah toko memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.
Kepergian ayah ..
Saat itu dingin Desember bertiup kencang, membawa titik air yang
dingin. Ketika mereka beristirahat di bawah atap toko itu, sang suami
berkata “saya harus meninggalkan sekarang untuk mendapatkan pekerjaan
apapun kalau tidak malam nanti kita akan di sini”.
Setelah
mencium bayinya, ia pergi. Dan itu, adalah kata-katanya yang terakhir
karena setelah itu ia tidak pernah kembali. Tak seorang pun yang tahu
dengan pasti kemana pria itu pergi. Tapi beberapa orang seperti
melihatnya menumpang kapal yang menuju Afrika.
Selama beberapa
hari berikutnya, sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan
suaminya, dan bila malam menjelang ibu dan anaknya tidur di emperan toko
itu. Pada hari ketiga, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang
kecil. Dan jadilah mereka pengemis di sana selama enam bulan
berikutnya.
Pada suatu hari, tergerak oleh semangat untuk
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit dan memutuskan
untuk bekerja. Persoalannya adalah di mana ia harus menitipkan anaknya,
yang kini sudah hampir dua tahun, dan tampak amat cantik. Kelihatannya
tidak ada jalan kecuali meninggalkan anak itu disitu, dan berharap agar
nasib tidak memperburuk keadaan mereka.
Suatu pagi ia berpesan
kepada anaknya, agar ia tidak pergi kema-mana, tidak ikut siapapun yang
mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis itu
tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak di tempat.
“dalam beberapa hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa
kamar kecil yang berpintu. Dan kita tidak lagi tidur dengan angin
dirambut kita.
Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh
kesungguhan, maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal
selama 7 bulan agar tampak kosong dan membaringkan anaknya dengan
hati-hati didalamnya.
Disebelahnya ia meletakkan sepotong roti,
kemudian dengan mata basah, ia bekerja sebagai pemotong kulit.
Begitulah kehidupan mereka selama beberapa hari, hingga di kantong sang
ibu kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di
daerah kumuh tersebut.
Dengan sukacita sang ibu menuju ke
penginapan miskin-miskin terseubt membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi
siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah
menculik gadis cilik itu dengan paksa dan membawanya sejauh 300
kilometer ke pusat kota.
Di situ mereka mendandani gadis cililk
itu dengan baju baru, membedaki wajahnya menyisir rambutnya dan
membawanya ke sebuah rumah mewah di pusat kota.
Berpisah dengan mama ..
Di situ sang gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami
istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri,
walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun. Suami istri dokter
tersebut memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka memanjakannya
dengan amat sangat.
Di tengah-tengah kemewahan gadis kecil itu
tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti
merangkai bunga, menulis puisi dan bermain piano. Ia bergabung dengan
kalangan-kalangan kelas atas, dan mengendarai Mercedes Benz ke mana pun
ia pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, dan bumi
terus berputar tanpa kenal istirahat.
Pada umurnya yang ke 23,
Serrafona dikenal sebagai anak gadis gubernur yang amat jelita, yang
pandai bermain piano, dan menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah
figure yang menjadi impian setiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh
seorang dokter muda yang bernama Geraldo.
Setahun setelah
perkawinan mereka ayahnya wafat, dan Serrafona beserta suaminya mewarisi
beberapa perusahaan dan sebuah real estate sebesar 14 hektar yang diisi
dengan taman bunga dan istana yang paling megah dikota itu.
Menjelang hari ulang tahunnya yang ke 27, sesuatu terjadi yang mengubah
kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar
mendiang ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, dan di laci meja
kerja ayahnya, ia menemukan selembar foto anak bayi yang digendong
sepasang suami istri.
Selimut, yang dipakai untuk menggendong
bayi itu kummel dan bayi itu sendiri tampak tidak terawat, karena
wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap berantakan.
Sesuatu di telinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia
mengambil kaca pembesar dan mengkonsentrasikan pada pandangan telinga
kiri itu. Kemudian ia membuka lemarinya sendiri dan mengeluarkan sebuah
kotak kayu.
Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia
menyimpan seluruh barang-barang pribadinya. Tapi diantara benda-benda
mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus kapas kecil sebentuk
anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan dan bukan terbuat
dari emas murni.
Almarhum ibunya memberi benda itu dengan pesan
untuk tidak menghilangkannya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, di
mana pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya.
Serrafona menaruh anting itu di dekat foto.
Sekali lagi ia
mengerahkan seluruh kemampuannya melihatnya dan perlahan-lahan air
matanya jatuh. Kini tidak ada keraguan lagi bahwa bayi itu adalah
dirinya sendiri. Tapi kedua orang yang menggendongnya, dengan senyum
yang dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali.
Foto
seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini menghantui
pertanyan-pertanyaannya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah
kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.
Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam,
penglihatan di benaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya dan
mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa
dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasakan betapa hangatnya kasih
sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu.
Ia
seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah
lebih baik mereka mati bersama. Matanya basah ketika ia keluar dari
kamar dan menghampiri suaminya, “Geraldo, saya adalah anak seorang
pengemis, dan mungkinkah ibu sekarang masih ada di jalan setelah 24
tahun?” ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa
lalu Serrafona.
Berkelana dalam pencarian ...
Foto
hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar
ke seluruh jaringan di seluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari
bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafona.mendapatkan
dukungan dari seluruh kantor kearsipan, surat kabar dan kantor catatan
sipil.
Ia mendapatkan data-data dari seluruh panti-panti orang
jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang
seorang wanita.
Bulan demi bulan telah berlalu, tapi tak ada
perkembangan apapun dari usahanya. Mencari seorang wanita yang mengemis
25 tahun yang lalu di negeri dengan populasi 90 juta bukanlah sesuatu
yang mudah bahkan mustahil untuk dilakukan.
Tapi Serrafona
tidak punya pikiran untuk menyereah, dibantu sang suami yang begitu
penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian. Kini,
tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar
untuk lebih akrab dengan nasib baik.
Terkadang ia berharap agar
ibunya sudah almarhum, sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa
mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana,
bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang. Ia memberitahu
suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-ngangguk
penuh perharian.
Setelah berusaha dalam berbagai upaya
pencarian, suatu sore Serrafona menerima kabar bahwa ada seorang wanita
yang mungkin bisa membantu menemukan ibunya. Tanpa membuang waktu, tim
pencari pun terbang ketempat wanita itu berada, sebuah rumah kumuh di
daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka.
Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separuh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita didalam foto.
Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah
menculik seorang gadis kecil di tepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu.
Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan
bahkan potongan-potongan jalan itu dimana ia mengincar gadis kecil itu
dan kemudian menculiknya.
Serrafona memberi anak perempuan yang
menjaga wanita itu sejumlah uang. Malam itu juga mereka mengunjungi
kota di mana Serrafona diculik, mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan
mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu.
Semalaman Serrafona tidak bisa tidur. Dan untuk kesekian kalinya ia
bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa ibunya masih hidup dan
sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya. Dua hari lewat
tanpa kabar, pada hari ketiga, pukul 6 pagi, mereka menerima telepon
dari salah seorang staf mereka.
“Tuhan maha penyayang nyonya,
kalau memang Tuhan mengijinkan kami mungkin telah menemukan ibu nyonya,
hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak terlalu banyak lagi”.
Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang
kumuh dan banyak angin. Rumah-rumah sepanjang jalan itu tua-tua dan
kumuh.
Satu dua anak kecil tanpa baju bermain-main di tepi
jalan dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih
kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil
lagi. Semakin lama mereka semakin masuk dalam lingkungan yang semakin
menunjukkan kemiskinan.
Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa
mendengar panggilan itu.”cepat, mama menunggumu sayang’. Ia mulai
berdoa:”Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan
apa saja untuknya”.
Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang
lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia
berdoa,”Tuhan beri saya sebulan saja”. Mobil masih berbelok lagi
kejalanan yang lebih kecil dan angin bertiup, berebut masuk melewati
celah jendela mobil yang terbuka.
Ia mendengar lagi panggilan
mamanya, dan ia mulai menangis,”Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak,
cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan”.
Ketika
mereka masuk dibelokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebatnya,
sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas,
panjangnya sekitar 180 kilometer dan hanya kekumuhan yang tampak dari
sisi ke sisi, dari ujung ke ujung.
Di tengah-tengah jalan itu,
di depan puing-puing sebuah toko, tampak gunungan sampah dan
kantong-kantong plastik, dan di tengah-tengahnya, terbaring seorang
wanita tua dengan pakaian yang sangat tidak layak untuk dipakai, tidak
bergerak.
Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya
dan 3 mobil polisi, di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti
keempat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul
pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.
“belum
bergerak dari tadi.” Lapor salah seorang. Pandangan Serrafona gelap,
tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun dari
mobil, suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu
mertuanya. “Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus
menguatkan hatimu.”
Serrafona memandang tembok dihadapannya,
dan ingatan semasa kecilnya kembali menerawang saat ia menyandarkan
kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas
bayangan ketika ia mulai berjalan.
Ia membaui bau jalanan yang
busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya. Air matanya mengalir
keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita
yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.
“Tuhan”, ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, “beri kami sehari,
Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberitahukannya
bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Sehingga mama tidak
pernah sia-sia merawat saya”. Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu
ke dadanya.
Wanita tua itu perlahan membuka matanya dan
memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan
parlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air
mata yang tampak seperti wajahnya sendiri disaat masih muda.
“mama …”, ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama ini
ditunggunya tiap malam dan setiap hari antara sadar dan tidak kini
menjadi kenyataan. Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik
lagi jiwanya yang akan lepas, dengan perlahan lahan ia mulai membuka
genggaman tangannya, tampak sebuah anting yang sudah menghitam.
Serrafona mengangguk dan menyadari bahwa itulah pasangan anting yang
selama ini dicarinya dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di
atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.
“mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama
jangan pergi, kita bisa lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin
tidur apapun juga …, mama jangan pergi …!”.
Ketika telinganya
menangkap detak jantuk yang melemah ia berdoa lagi kepada Tuhan,”Tuhan
Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan … satu jam saja … satu jam saja …” tapi
dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang
membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama
seperempat abad tidak berakhir dengan sia-sia.
No comments:
Post a Comment